Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Kenetralan sebagian atau keseluruhan artikel ini dipertentangkan.
Silakan melihat pembicaraan di halaman diskusi artikel ini.
Artikel ini membutuhkan catatan kaki untuk pemastian.
Silakan bantu memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki.
Salah satu aktivis RMS yang beraksi di upacara Harganas 2007 ditangkap aparat
Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda [1].Daftar isi [sembunyikan]
1 Sejarah
2 Pemimpin
3 Dukungan
4 RMS di Belanda
5 Kerusuhan
6 Referensi
[sunting]
Sejarah
Pada 25 April 1950 RMS diproklamasikan oleh orang-orang bekas prajurit KNIL dan pro-Belanda yang diantaranya adalah Chr. Soumokil bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur yang kemudian ditunjuk sebagai Presiden, Ir. J.A. Manusama dan J.H. Manuhutu.
Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang diketuai Dr. Leimena sebagai misi perdamaian ke Ambon. Tapi kemudian, misi yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal dan pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.A Kawilarang.
Pada 14 Juli 1950 Pasukan ekspedisi APRIS/TNI mulai menumpas pos-pos penting RMS. Sementara, RMS yang memusatkan kekuatannya di Pulau Seram dan Ambon, juga menguasai perairan laut Maluku Tengah, memblokade dan menghancurkan kapal-kapal pemerintah.
Pemberontakan ini berhasil digagalkan secara tuntas pada bulan November 1950, sementara para pemimpin RMS mengasingkan diri ke Belanda. Pada 1951 sekitar 4.000 orang Maluku Selatan, tentara KNIL beserta keluarganya (jumlah keseluruhannya sekitar 12.500 orang), melarikan diri ke Belanda, yang saat itu diyakini hanya untuk sementara saja.
RMS di Belanda lalu menjadi pemerintahan di pengasingan. Pada 29 Juni 2007 beberapa pemuda Maluku mengibarkan bendera RMS di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhono pada hari keluarga nasional di Ambon. Pada 24 April 2008 John Watilette perdana menteri pemerintahan RMS di pengasingan Belanda berpendapat bahwa mendirikan republik merupakan sebuah mimpi di siang hari bolong dalam peringatan 58 tahun proklamasi kemerdekaan RMS yang dimuat pada harian Algemeen Dagblad yang menurunkan tulisan tentang antipati terhadap Jakarta menguat. Tujuan politik RMS sudah berlalu seiring dengan melemahnya keingingan memperjuangkan RMS ditambah tidak adanya donatur yang bersedia menyisihkan dananya, kini hubungan dengan Maluku hanya menyangkut soal sosial ekonomi. Perdana menteri RMS tidak menutup kemungkinan Maluku akan menjadi daerah otonomi seperti Aceh Kendati tetap menekankan tujuan utama adalah meraih kemerdekaan penuh [2].
[sunting]
Pemimpin
Pemimpin pertama RMS dalam pengasingan di Belanda adalah Prof. Johan Manusama dan kini Frans Tutuhatunewa.
Dr. Soumokil mengasingkan diri ke Pulau Seram. Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.
[sunting]
Dukungan
Mayoritas penduduk Maluku pada saat itu beragama Kristen, Namun dengan adanya budaya "PELA GANDONG", dapatlah dikatakan bahwa di Kepulauan Maluku, seluruh lapisan dan segenap Masyarakat Maluku bersatu secara kekeluargaan, baik ber-agama Kristen, Islam, maupun agama Hindu dan Budha, semuanya bersatu.Demikian saat itu RMS.[rujukan?] berbeda dengan sekarang, sudah banyak pendatang-pendatang baru dari daerah Sulawesi Selatan, Tengah, Tenggara, Jawa Madura maupun daerah lainnya di Indonesia. sehingga hanya sekelompok kecil lah masyarakat yang mempunyai hubungan keluarga dengan para pengungsi RMS di Belanda yang terus memberikan dukungan, sedangkan mayoritas masyarakat Maluku melihat peristiwa pemberontakan RMS sebagai masa lalu yang suram dan ancaman bagi perkembangan kedamaian dan keharmonisan serta upaya pemulihan setelah perisitiwa kerusuhan Ambon. ..........; Kalimat dalam tulisan ini belum sesua dengan yang sebenarnya, akan ditambahkan dalam waktu dekat ini
[sunting]
RMS di Belanda
Oleh karena kemerdekaan RMS yang di Proklamirkan oleh sebagian besar rakyat Maluku, pada tanggal 24 April 1950 di kota Ambon, ditentang oleh Pemerintah RI dibawah pimpinan Sukarno - Hatta, maka Pemerintah RI meng-ultimatum semua para aktifis RMS yang memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan untuk menyerahkan diri kepadda pemerintah RI, sehingga semua aktifis RMS itu ditangkapi oleh Pasukan2 Militer yang dikirim dari Pulau Jawa.
Karena adanya penangkapan yang dilakukan oleh militer Pemerintah RI, maka para pimpinan teras RMS tersebut, ber-inisiatif untuk menghindar sementara ke Negeri Belanda, kepindahan para pimpinan RMS ini mendapat bantuan sepenuhnya dari Pemerintah Belanda pada saat itu. Dengan adanya kesediaan bantuan dari Pemerintah Belanda untuk mengangkut sebagian besar rakyat Maluku dengan biaya sepenuhnya dari Pemerintah Belanda, maka sebagian besar rakyat di Maluku, baik yang beragama kristen maupun yang beragama Islam dan agama lainnya, memilih dengan kehendaknya sendiri untuk pindah ke Negeri Belanda. Pada waktu itu, Ada lebih dari 15.000 rakyat Maluku yang memilih pindah ke negeri Belanda.
Pindahnya sebagian rakyat maluku ini, oleh Pemerintahan Sukarno - Hatta, diissukan sebagai "PENGUNGSIAN PARA PENDUKUNG RMS", lalu dengan dalih pemberontakan, pemerintah RI menangkapi para Menteri RMS dan para aktifisnya, lalu mereka dipanjarakan dan diadili oleh pengadilan militer RI, dengan hukuman berat bahkan dieksekusi Mati.
Di Belanda, Pemerintah RMS tetap menjalankan semua kebijakan Pemerintahan, seperti Sosial, Politik, Keamanan dan Luar Negeri. Komunikasi antara Pemerintah RMS di Belanda dengan para Menteri dan para Birokrat di Ambon berjalan lancar terkendali. Keadaan ini membuat pemerintahan Sukarno tkdak bisa berpangku tangan menyaksikan semua aktifitas rakyat Maluku, sehingga dikeluarkanlah perintah untuk menangkap seluruh pimpinan dengan semua jajarannya, sehingga pada akhirnya dinyatakanlah bahwa Pemerintah RMS yang berada di Belanda sebagai Pemerintah RMS dalam pengasingan Dengan bekal dokumentasi dan bukti perjuangan RMS, para pendukung RMS membentuk apa yang disebut Pemerintahan RMS di pengasingan.
Pemerintah Belanda mendukung kemerdekaan RMS, Namun di tahun 1978 terjadi peristiwa Wassenaar, dimana beberapa elemen pemerintahan RMS melakukan serangan kepada Pemerintah Belanda sebagai protes terhadap kebijakan Pemerintah Belanda. Oleh Press di Belanda dikatakanlah peristiwa itu sebagai teror yang dilakukan para aktifis RMS di Belanda. Ada yang mengatakan serangan ini disebabkan karena pemerintah Belanda menarik dukungan mereka terhadap RMS. Ada lagi yang menyatakan serangan teror ini dilakukan karena pendukung RMS frustasi, karena Belanda tidak dengan sepenuh hati memberikan dukungan sejak mula. Di antara kegiatan yang di lansir Press Belanda sabagai teror, adalah ketika di tahun 1978 kelompok RMS menyandera 70 warga sipil di gedung pemerintah Belanda di Assen - Wassenaar.
Selama tahun 70an, teror seperti ini dilakukan juga oleh beberapa kelompok sempalan RMS, seperti kelompok Komando Bunuh Diri Maluku Selatan yang dipercaya merupakan nama lain (atau setidaknya sekutu dekat) Pemuda Maluku Selatan Merdeka. Kelompok ini merebut sebuah kereta api dan menyandera 38 penumpangnya di tahun 1975. Ada juga kelompok sempalan yang tidak dikenal yang pada tahun 1977 menyandera 100 orang di sebuah sekolah dan di saat yang sama juga menyandera 50 orang di sebuah kereta api.
Sejak tahun 80an hingga sekarang aktivitas teror seperti itu tidak pernah dilakukan lagi.
[sunting]
Kerusuhan
Pada saat kerusuhan Ambon yang terjadi antara 1999-2004, RMS kembali mencoba memakai kesempatan untuk menggalang dukungan dengan upaya-upaya provokasi, dan bertindak dengan mengatas-namakan rakyat Maluku. Beberapa aktivis RMS telah ditangkap dan diadili atas tuduhan kegiatan-kegiatan teror yang dilakukan dalam masa itu, walaupun sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi mengenai sebab dan aktor dibalik kerusuhan Ambon.
Pada tanggal 29 Juni 2007, beberapa elemen aktivis RMS berhasil menyusup masuk ke tengah upacara Hari Keluarga Nasional yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat dan tamu asing. Mereka menari tarian Cakalele seusai Gubernur Maluku menyampaikan sambutan. Para hadirin mengira tarian itu bagian dari upacara meskipun sebenarnya tidak ada dalam jadwal. Mulanya aparat membiarkan saja aksi ini, namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan bendera RMS. Barulah aparat keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar arena. Di luar arena para penari itu ditangkapi. Sebagian yang mencoba melarikan diri dipukuli untuk dilumpuhkan oleh aparat. Pada saat ini (30 Juni 2007) insiden ini sedang diselidiki. Beberapa hasil investigasi menunjukkan bahwa RMS masih eksis dan mempunyai Presiden Transisi bernama Simon Saiya. Beberapa elemen RMS yang dianggap penting ditahan di kantor Densus 88 Anti Teror[3].
Republik Maluku Selatan dari Masa ke Masa
Rabu, 12 Mei 2004 | 21:58 WIB
27 Desember 1949: Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, waktu itu Republik Indonesia Serikat (RIS). Kemudian, RIS membentuk Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Tapi, tentara KNIL asal Ambon tidak bersedia bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia sebagai pasukan inti APRIS.
25 April 1950: Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan orang-orang bekas prajurit KNIL dan pro-Belanda (diantaranya Chr. Soumokil, Ir. J.A. Manusama dan J.H. Manuhutu), dengan presiden Dr. Chr. R. S. Soumokil -bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur. RMS bertujuan menjadi negara sendiri lepas dari Negara Indonesia Timur. Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang diketuai Dr. Leimena.
13 Juli 1950: Konferensi Maluku di Semarang, dan para politikus asal Ambon minta pengiriman misi perdamaian ke Ambon. Tapi kemudian, misi yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal. Akhirnya, pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.A Kawilarang.
14 Juli 1950: Pasukan ekspedisi APRIS/TNI mulai menumpas pos-pos penting RMS. Sementara, RMS yang memusatkan kekuatannya di Pulau Seram dan Ambon, juga menguasai perairan laut Maluku Tengah, memblokade dan menghancurkan kapal-kapal pemerintah.
18 November 1950: Kota Ambon dikuasai APRIS. Soumokil menyelamatkan diri. Sisa-sisa RMS melarikan diri ke hutan dan untuk beberapa tahun lamanya melakukan kegiatan perlawanan.
18 Desember 1950: Pulau Seram dikuasai APRIS.
Februari 1951: Kabinet Belanda di Den Haag memutuskan, mengangkut sisa para serdadu Ambon di Jawa, untuk didemobilisasi di Belanda. Belanda berjanji, suatu hari mereka bisa mudik ke “Ambon yang bebas”.
21 Maret 1951: Rombongan pertama bekas prajurit Belanda asal Maluku (KNIL), bersama keluarga mereka, tiba di Rotterdam, Belanda menggunakan kapal laut. Kemudian, disusul sekitar 12 ribu dengan angkutan 14 kapal. Pemerintah Belanda memberitahukan keputusan Kabinet Belanda (Keputusan Februari 1951) yang memecat prajurit Ambon dari dinas kemiliteran KL. Menetap dan beranak pinak, jumlah orang Maluku, itu kini (2003) sekitar 45.000 jiwa.
1953: Manusama kabur dari New guinea atau Irian Barat ke Belanda. Tahun '50 an Suara di dalam masyarakat Maluku menyimpang dari masalah hak-hak militer KNIL ke realisasi dari idealisme politik RMS.
2 Desember 1963: Soumokil tertangkap.
1964: Soumokil diadili dan dijatuhi hukuman mati oleh Mahmilub.
12 April 1966: Presiden RMS, Soumokil, yang sejak 1963 dipenjara oleh pemerintah Indonesia dieksekusi. Partai kesatuan Badan Persatuan mengangkat Manusama sebagai penggantinya di tempat pengasingan.
1966: RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda.
1970-an: Masyarakat Maluku di Belanda merasa tidak adil dan dikibuli Belanda. Mereka meluapkan emosi, melakukan serangkaian aksi kekerasan sepanjang 1970-an: mulai dari pendudukan kediaman duta besar RI di Wassenaar pada malam sebelum Soeharto tiba untuk kunjungan kenegaraan di Belanda (1970), serangan ke rumah Duta Besar RI di Wassenaar dan pembajakan kereta api di Wijster (1975-1977) yang akhirnya menelurkan persetujuan Wassenaar antara Belanda dan Indonesia mengenai pemulangan orang Maluku Belanda ke Indonesia secara sukarela, pembajakan kereta di De Punt dan penyanderaan anak sekolah di Bovensmilde (1977), sampai upaya untuk menculik Ratu Yuliana -tapi gagal.
Menghadapi aksi-aksi RMS itu, pemerintah Belanda menggeledah tempat tinggal anggota RMS, menangkap tokoh-tokoh RMS, menghukum mereka dan membekukan asset kekayaan yang dipakai untuk mendanai gerakan itu.
1978: Parlemen Belanda menutup kasus RMS, tidak mengadakan kontak resmi di antara dua pemerintahan.
1986: Penjelasan bersama dari pemerintah Belanda dan Badan Persatuan. Perjanjian mengenai jaminan hidup untuk ‘generasi pertama’ , pengaturan fasilitas perumahan dan peluang kerja bagi mereka (orang Maluku).
1992: Maluku Selatan menjadi anggota UNPO (Unrepresented Nations and Peoples Organisation), organisasi bangsa-bangsa dan rakyat yang tidak cukup terwakili di forum internasional, seperti PBB.
1993: Manusama menyerahkan kepemimpinan RMS kepada dokter yang telah pensiun F. Tutuhantunewa.
1996: Manusama meninggal.
25 April 2001: Pimpinan Eksekutif Forum Kedaulatan Maluku (FKM), Dr. Alex Manuputty, memelopori pengibaran bendera RMS pada peringatan ulang tahun proklamasi RMS, 25 April 2001, di kediamannya, kawasan Kudamati, Ambon. Akibatnya, Polda Maluku menangkap Alex pada Juni 2001, dengan tuduhan melanggar Pasal 106 KUHP dan 110 KUHP, tentang makar.
12 Februari 2002: Umat Islam dan Kristen di Maluku, yang terlibat konflik Maluku (sejak 19 Januari 1999), menandatangani perjanjian Malino. Salah satu kesepatakan adalah menolak segala bentuk gerakan separatis, termasuk RMS.
25 April 2002: Pada peringatan proklamasi RMS ke-51, diadakan pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibatnya, sedikitnya 23 pengikut dan pendukung FKM ditangkap aparat keamanan. Kemudian, pendukung FKM mempraperadilankan Gubernur Maluku dan Kepala Kejaksaan Tinggi setempat lantaran penangkapan, penahanan dan pemeriksaan terhadap 15 tersangka pelaku pengibaran bendera RMS yang digerebek di beberapa lokasi di Pulau Saparua, Maluku Tengah, dianggap tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Di Den Haag, RMS memperingati hari proklamasinya di gedung olahraga Uichof dengan dihadiri sekitar 1000-2000 orang Maluku.
28 Agustus 2002: Lima belas tersangka, itu diadili, dianggap melanggar kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
22 Oktober 2002: Majelis hakim PN Ambon memvonis 2-5 tahun penjara potong tahanan terhadap 15 tersangka pendukung FKM yang mengibarkan bendera RMS, 25 April 2002.
17 Maret 2003: Pimpinan Eksekutif dan Pimpinan Yudikatif FKM, Dr.Alexander Hendriks Manuputty dan Waleruny Semuel alias Semmy, ditangkap untuk kedua kalinya oleh Polda Maluku.
25 April 2003: Sekitar 60 orang ditahan aparat keamanan di Ambon, berkaitan dengan peringatan hari ulang tahun RMS. Lantaran didapati menjahit atau mengibarkan bendera RMS yang diberi nama "Benang Raja". Dari 139 pengikut RMS yang ditangkap itu, 129 diantaranya dijadikan tersangka
28 Juni 2003: Sebanyak 39 anggota RMS yang ditahan di Kepolisian Resor Ambon sejak 25 April, dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan Nania. Mereka ditahan, karena terbukti melanggar larangan pengibaran bendera RMS.
25 April 2004: Ratusan pendukung RMS memancangkan bendera RMS di Kudamati. Kemudian, beberapa aktifisnya diarak polisi ke Markas Polda. Lalu terjadi konflik dengan kelompok Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4 Mei 2004: Dua pentolan gerakan sparatis RMS, Yacobus dan Matius diringkus aparat dari Polda Jawa Timur di Bandara Juanda, Surabaya.
6 Mei 2004: 11 tersangka FKM/RMS digiring ke Mabes Polri, diantaranya Sekjen FKM/RMS Moses Tuanakota, istri Alex Manuputi (nyonya Olli Manuputi) dan putri Alex (Kristina Manuputi).
Levi Silalahi, PDAT, TNR